Sesi 5 Struktur Kepemilikan dan Tata Kelola Korporasi
byAhmadkalam
Sesi 5: Struktur Kepemilikan dan Tata Kelola Korporasi
Selamat bertemu kembali di Kelas Tuton Mata Kuliah FSAB4104/Corporate Governance. Semoga semua dalam keadaan sehat. Pada pertemuan ke-5 ini, Materi yang dipelajari berkaitan dengan Struktur Kepemilikan dan Tata Kelola Korporasi.
Sebelum mengikuti diskusi sesi ke-5 ini, Anda disarankan untuk membaca dan memahami Buku Materi Pokok (BMP) FSAB4104 Modul 5 yang tersedia dalam versi cetak atau digital. Keberhasilan diskusi ini sangat tergantung kepada aktivasi seluruh peserta dalam diskusi.
Perlu kami ingatkan bahwa Setiap pendapat/argumen yang Anda sampaikan di forum diskusi ini menjadi salah satu komponen penilaian dalam tutorial online. Setiap peserta diperbolehkan untuk memposting pendapatnya di forum diskusi lebih dari satu kali. Pada sesi ke-5 ini para peserta tutorial diwajibkan untuk mengerjakan Tugas 2.
Setelah mengikuti tutorial online ini Anda diharapkan mampu menganalisis Evolusi Dispersi Struktur Kepemilikan Korporasi.
Salam, Tutor.
Catatan: Ini adalah rangkuman materi Sesi 5.
Untuk melihat daftar lengkap semua rangkuman modul (Sesi 1-8) dari mata kuliah ini dan mata kuliah lainnya, silakan kunjungi Halaman Indeks Utama.
Rangkuman Materi Sesi 5: Evolusi Dispersi Struktur Kepemilikan Korporasi
Berikut adalah rangkuman dari materi inisiasi 5 (Modul 5) berdasarkan file presentasi "Modul 5_Evolusi_Kepemilikan_Korporasi.pptx":
A. Perusahaan Tertutup (Close Corporation)
Perusahaan Tertutup adalah perusahaan yang kepemilikan sahamnya terbatas dan biasanya dimiliki oleh keluarga atau lingkungan dekat. Perusahaan ini tidak menawarkan sahamnya di pasar modal. Ciri-cirinya meliputi saham atas nama, jumlah pemegang saham terbatas, dan pengalihan saham yang juga dibatasi.
B. Dasar Hukum & Ciri-Ciri PT
Di Indonesia, Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam UU No. 40/2007. Ciri utama PT adalah berbadan hukum, didirikan dengan perjanjian, modal dasarnya terbagi dalam saham, dan yang terpenting, tanggung jawab pemegang saham terbatas hanya pada modal yang disetor.
C. Konsep Kunci dalam Kepemilikan
Hak Pemegang Saham: Meliputi hak memperoleh informasi, ikut RUPS, memilih direksi/komisaris, dan memperoleh laba (dividen).
Fiduciary Duties: Ini adalah kewajiban utama Direksi dan Komisaris. Mereka wajib bertindak dengan loyalitas dan itikad baik (good faith) demi kepentingan terbaik perusahaan, bukan kepentingan pribadi.
Agency Theory: Teori ini berasumsi bahwa manajer (agen) cenderung bertindak untuk kepentingannya sendiri, bukan kepentingan pemilik (prinsipal). Hal ini menimbulkan "agency cost" atau biaya untuk mengawasi manajer.
Stewardship Theory: Teori ini berlawanan dengan Agency Theory. Ia berasumsi bahwa manajer pada dasarnya dapat dipercaya (bertindak sebagai "steward" atau pelayan) untuk mengelola perusahaan dengan baik.
D. Kepemilikan Institusional & Tata Kelola
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham oleh institusi seperti bank, dana pensiun, asuransi, reksadana, atau yayasan. Kehadiran mereka sangat penting karena mereka berfungsi sebagai mekanisme pengawasan terhadap manajemen. Semakin tinggi kepemilikan institusional, diharapkan proses monitoring akan lebih ketat, sehingga dapat mengurangi perilaku oportunistik manajer (agency problem) dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas.
E. Model-Model Kepemilikan Saham
Shareholder Model (Model Anglo-American):
Fokus utamanya adalah memaksimalkan nilai dan kekayaan pemegang saham.
Terdapat pemisahan yang jelas antara pemilik (shareholder) dan pengendali (manajemen).
Model ini lebih sering menimbulkan agency problem.
Stakeholder Model (Model Jerman & Jepang):
Fokusnya lebih luas, yaitu memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk karyawan, pelanggan, pemasok, dan masyarakat.
Menekankan pada stabilitas jangka panjang, kepercayaan, dan inovasi.
Sifatnya lebih partisipatif dan kolaboratif.
Diskusi Sesi 5
Good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik membantu terciptanya hubungan yang kondusif dan dapat dirangkai diantara elemen dalam perusahaan (Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan para pemegang saham) dalam
rangka meningkatkan kinerja keuangan. Dalam paradigma ini, Dewan Komisaris berada pada posisi untuk memastikan bahwa manajemen telah benar-benar bekerja demi kepentingan perusahaan sesuai strategi yang telah ditetapkan serta menjaga kepentingan para pemegang saham untuk meningkatkan nilai ekonomis perusahaan. Demikian juga komite audit mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam hal ini memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan seperti halnya menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya good corporate governance.
Berikan opini Anda terhadap Wacana di atas!
Izin berpendapat,
Saya sangat setuju dengan wacana tersebut. Wacana ini menyoroti dua pilar utama dalam arsitektur Good Corporate Governance (GCG), yaitu Dewan Komisaris dan Komite Audit, yang perannya sangat krusial untuk mengatasi masalah utama dalam korporasi.
Berdasarkan materi Sesi 5, masalah utama dalam korporasi modern adalah Agency Problem, di mana ada potensi konflik kepentingan antara manajer (Dewan Direksi) dan pemilik (Pemegang Saham). Manajer mungkin bertindak untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan perusahaan. Di sinilah peran Dewan Komisaris dan Komite Audit menjadi sangat penting:
1. Peran Dewan Komisaris (BOC)
Dewan Komisaris bertindak sebagai "wakil" dari pemegang saham (prinsipal) yang tugas utamanya adalah melakukan monitoring atau pengawasan terhadap Dewan Direksi (agen). Peran mereka adalah memastikan bahwa Direksi:
Telah menjalankan Fiduciary Duties mereka, yaitu bertindak dengan loyalitas dan itikad baik (good faith) demi kepentingan perusahaan.
Menjalankan strategi perusahaan yang telah disetujui dan tidak mengambil risiko berlebihan yang merugikan pemegang saham.
Tanpa pengawasan ketat dari Dewan Komisaris, Agency Cost (biaya untuk mengawasi manajer) akan membengkak dan Direksi bisa saja bertindak oportunistik. Ini sejalan dengan peran kepemilikan institusional yang juga berfungsi sebagai mekanisme monitoring.
2. Peran Komite Audit
Jika Dewan Komisaris adalah pengawas di level strategi dan operasional makro, maka Komite Audit adalah "ujung tombak" pengawasan di level yang paling krusial, yaitu keuangan dan pengendalian internal.
Wacana tersebut tepat menyebut Komite Audit berperan "memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan". Ini adalah inti dari transparansi dan akuntabilitas. Komite Audit memastikan bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen itu jujur, wajar, dan tidak direkayasa. Mereka menjembatani komunikasi antara manajemen, auditor eksternal, dan Dewan Komisaris.
Kesimpulan Opini:
Keduanya adalah mekanisme GCG yang vital. Dewan Komisaris memberikan pengawasan strategis untuk memastikan Direksi "melakukan hal yang benar" (doing the right things), sementara Komite Audit memastikan Direksi "melakukan hal itu dengan benar" (doing things right), terutama dalam hal pelaporan dan pengendalian. Tanpa keduanya, GCG hanya akan menjadi dokumen tanpa makna.
Tugas 2
Kasus Gagal Bayar Jiwasraya
Industri Keuangan Nasional akhir-akhir ini dihebohkan dengan kasus gagal bayar perusahaan asuransi plat merah PT. Asuransi Jiwasraya ( Jiwasraya ) yang merupakan perusahaan asuransi BUMN bidang asuransi terbesar. Kejaksaan Agung mengungkapkan potensi kerugian negara dari kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa mencapai Rp 17 triliun... Gagal bayar Asuransi Jiwasraya sebenarnya terjadi pada salah satu produk unggulannya yang bernama JS Saving plan. JS Saving plan merupakan produk asuransi jiwa sekaligus investasi... JS Saving Plan menawarkan jaminan return yang sangat tinggi dengan periode pencairan setiap tahun. Nilai return ini jauh lebih tinggi... daripada bunga... deposito bank...
Beberapa dugaan penyebab gagal bayarnya Jiwasraya diantaranya : Produk-produk yang merugi ( negative spread dan underpricing, harga kemurahan ), kinerja pengelolaan aset yang rendah, kualitas aset investasi dan non investasi yang kurang likuid, sistem pengendalian perusahaan yang masih lemah, tata Kelola perusahaan yang kurang baik, sistem informasi yang tidak andal, kantor cabang yang tidak produktif, biaya operasional yang tidak efisien, akses permodalan yang terbatas, kurangnya inovasi di bidang produk dan layanan, kualitas SDM asuransi yang terbatas, budaya kerja yang kurang professional, sarana dan prasarana kerja yang belum modern.
Berdasarkan kasus di atas:
Identifikasi factor-faktor penyebab kegagalan PT. Jiwasraya dari perspektif Corporate Governance!
Bagaimana faktor-faktor tersebut bisa menyebabkan kegagalan Asuransi Jiwasraya?
Bagaimana etika bisnis dan profesionalisme manajemen berperan dalam mencegah kasus serupa?
Apa implikasi lemahnya budaya kerja dan kualitas SDM terhadap keberlangsungan tata kelola perusahaan asuransi BUMN?
Berikut adalah jawaban untuk Tugas 2 (Kasus Jiwasraya) berdasarkan perspektif materi Sesi 5:
1. Faktor Penyebab Kegagalan dari Perspektif Corporate Governance (CG)
Berdasarkan deskripsi kasus dan materi Sesi 5, faktor-faktor utama kegagalan Jiwasraya dari perspektif CG adalah:
Tata Kelola Perusahaan yang Kurang Baik: Ini adalah faktor inti yang disebutkan langsung dalam kasus. Ini menunjukkan kegagalan pada seluruh sistem pengawasan dan pengendalian.
Sistem Pengendalian Perusahaan yang Masih Lemah: Pengendalian internal adalah bagian vital dari GCG. Lemahnya pengendalian berarti tidak ada mekanisme yang efektif untuk mendeteksi atau mencegah keputusan yang salah dan berisiko tinggi.
Kegagalan Total dalam Menjalankan "Fiduciary Duties": Dewan Direksi (manajemen) jelas gagal menjalankan kewajiban mereka untuk bertindak dengan loyalitas dan itikad baik (good faith) demi kepentingan perusahaan. Mereka justru menciptakan produk "negative spread" (merugi) yang sangat berisiko.
Kegagalan Fungsi Monitoring (Pengawasan): Ini adalah kegagalan Dewan Komisaris dan pemegang saham (dalam hal ini Negara/BUMN sebagai pemilik institusional). Materi Sesi 5 menyebutkan kepemilikan institusional seharusnya "berfungsi sebagai mekanisme pengawasan" dan melakukan "monitoring lebih ketat". Dalam kasus ini, pengawasan itu gagal total, membiarkan manajemen menjual produk berisiko tinggi (JS Saving Plan) dan berinvestasi pada "aset... kurang likuid".
"Agency Problem" yang Akut: Ini adalah contoh buku teks dari Agency Theory. Manajemen (agen) bertindak sembrono, mungkin untuk mengejar bonus atau menutupi kerugian sebelumnya (kepentingan sendiri), yang bertentangan dengan kepentingan jangka panjang perusahaan dan pemegang polis (prinsipal/stakeholder).
2. Bagaimana Faktor-Faktor Tersebut Menyebabkan Kegagalan
Faktor-faktor CG ini saling terkait dan menyebabkan kegagalan karena:
Sistem Pengendalian Lemah → Manajemen (Direksi) dapat meluncurkan produk cacat (JS Saving Plan) yang menjanjikan return "jauh lebih tinggi" dari pasar. Tanpa pengendalian, tidak ada yang mengevaluasi risiko bahwa janji ini tidak realistis.
Pelanggaran Fiduciary Duty → Bukannya bertindak untuk kepentingan perusahaan, manajemen malah "menggali lubang lebih dalam" dengan produk "negative spread". Mereka gagal melindungi nilai perusahaan.
Kegagalan Monitoring (Komisaris) → Karena pengawasan dari Dewan Komisaris lemah, keputusan Direksi yang berisiko ini lolos begitu saja. Dewan Komisaris seharusnya menantang dan menghentikan penjualan produk JS Saving Plan.
Agency Problem → Untuk membiayai janji return yang tinggi, manajemen (agen) menginvestasikan dana nasabah ke "aset... kurang likuid" dan "kinerja pengelolaan aset yang rendah". Ini adalah perilaku oportunistik yang menghancurkan nilai perusahaan demi tujuan jangka pendek yang tidak jelas.
Pada akhirnya, "Tata Kelola yang Kurang Baik" menciptakan lingkungan di mana keputusan yang salah, tidak etis, dan berisiko tinggi dapat dibuat dan dieksekusi tanpa ada yang mencegahnya, yang berujung pada gagal bayar (default).
3. Peran Etika Bisnis dan Profesionalisme Manajemen
Etika bisnis dan profesionalisme adalah fondasi utama untuk mencegah kasus seperti Jiwasraya:
Etika Bisnis: Etika adalah tentang memegang teguh Fiduciary Duties. Manajemen yang beretika akan berpegang pada prinsip good faith (itikad baik). Mereka tidak akan pernah secara sadar menjual produk "negative spread" karena itu pada dasarnya menipu pemegang polis dan merugikan perusahaan. Etika bisnis akan memandu manajemen untuk fokus pada "keberlanjutan & kepercayaan", bukan keuntungan sesaat.
Profesionalisme Manajemen: Profesionalisme terkait dengan kompetensi. Manajemen yang profesional (seperti dalam Stewardship Theory, di mana manajer dipercaya) akan memiliki "kualitas SDM" yang tinggi. Mereka tidak akan memiliki "kinerja pengelolaan aset yang rendah" atau berinvestasi di aset "kurang likuid". Seorang profesional akan melakukan manajemen risiko yang layak sebelum meluncurkan produk apapun, sesuatu yang jelas tidak terjadi pada JS Saving Plan.
Jika manajemen Jiwasraya beretika dan profesional, mereka akan menolak untuk meluncurkan JS Saving Plan karena secara profesional produk itu tidak layak (underpricing) dan secara etis produk itu menjerumuskan (merugi).
4. Implikasi Lemahnya Budaya Kerja dan Kualitas SDM
Implikasinya sangat fatal terhadap keberlangsungan tata kelola (GCG) di BUMN:
GCG Menjadi Sekadar Formalitas: Tata kelola yang baik (GCG) bergantung pada orang-orang yang menjalankannya. Jika "kualitas SDM terbatas" dan "budaya kerja kurang profesional", maka GCG hanya akan menjadi dokumen di atas kertas. Rapat Dewan Komisaris, Komite Audit, dan laporan pengendalian internal menjadi ritual kosong tanpa substansi.
Melumpuhkan Fungsi Monitoring: Dewan Komisaris (pengawas) sangat bergantung pada laporan dan informasi dari manajemen dan staf (SDM) di bawahnya. Jika SDM tidak berkualitas dan budayanya tidak profesional, laporan yang diterima pengawas kemungkinan besar tidak akurat, tidak lengkap, atau bahkan dimanipulasi. Ini membuat fungsi "monitoring" menjadi buta dan tidak efektif.
Menciptakan "Agency Problem" Sistemik: Budaya yang tidak profesional akan menoleransi "Agency Problem". Kualitas SDM yang rendah tidak mampu menantang keputusan atasan yang salah, sementara budaya yang buruk mendorong orang untuk fokus pada kepentingan pribadi ("biaya operasional tidak efisien", "kantor cabang tidak produktif") daripada kepentingan perusahaan.
Singkatnya, lemahnya SDM dan budaya kerja adalah "pelumas" bagi kegagalan GCG. Keduanya memastikan bahwa sistem pengawasan tidak akan berfungsi, sehingga memungkinkan terjadinya kegagalan masif seperti di Jiwasraya.